Fauna & Flora Khas Indonesia
*Fauna Khas Indonesia*
TARSIUS SPECTRUM
(Si Kera Hantu dari Sulawesi)
Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu) adalah suatu jenis primata
kecil, memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu,
bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.
Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming.
Yang paling istimewa dari Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala Tarsius dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa
Tarsius merupakan makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik, dan terkadang reptil kecil, burung, dan kelelawar. Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu, Selayar, dan Peleng. Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “balao cengke” atau “tikus jongkok” jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia.
Satwa unik ini pun juga tidak lepas dari ancaman. IUCN telah menempatkan satwa ini pada kategori rentan. Sedangkan Pemerintah telah memasukkan seluruh taksa hewan itu dalam perlindungan dalam PP. No. 7/1999 dan UU No. 5/1990. Penurunan populasi terutama disebabkan karena degradasi lingkungan, walaupun kadang-kadang diburu atau dikira tikus sehingga dikonsumsi atau “tola-tola” pada saat mengonsumsi miras.
Hilangnya habitat, perburuan untuk diperdagangkan ataupun sebagai peliharaan menjadi ancaman serius. Untuk itu diperlukan berbagai upaya konservasi. Salah satu upaya konservasi melalui dorongan kepada pengambil kebijakan untuk menjadikan tarsius sebagai flagship species karena jenis ini memiliki keunikan dan endemik.
Shekelle dan Leksono pada tahun 2004 menungkapkan tentang upaya-upaya agar tarsius lebih diperhatikan melalui flagship species. Menurut mereka, beberapa kelebihan mengapa satwa ini dijadikan flagship species antara lain : sebaran luas, banyak taksa endemik yang tersebar di hampir seluruh daerah endemisitas, berada di lebih banyak tipe habitat, bukan merupakan hama, tidak memiliki nilai ekonomi (misal daging atau bagian tubuh lain), dan sebagai satwa kharismatik.
Selain mendorong ke arah flagship species, upaya yang lain secara simultan perlu dilakukan agar satwa ini bisa bertahan dan berkembang biak di alam. Pemahaman terhadap pentingnya habitat bagi satwa ini kepada masyarakat luas, termasuk kepada pemerintah dan aparat penegak hukum, alternatif pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan dapat mengurangi tekanan/ancaman terhadap tarsius agar nantinya kita tidak hanya melihat foto dan gambarnya saja, namun masih tetap melihat mereka aman di alam.
Sumber:
*Flora Khas Indonesia*
Gandaria
Gandaria
(Bouea macrophylla Griffith) atau nama lokal lainnya jatake adalah tanaman yang
berasal dari kepulauan Indonesia dan Malaysia. Tanaman ini tumbuh di daerah
tropis, dan banyak dibudidayakan di Sumatera dan Thailand.
Gandaria
dimanfaatkan buah, daun, dan batangnya. Buah gandaria berwarna hijau saat masih
muda, dan sering dikonsumsi sebagai rujak atau campuran sambal gandaria. Buah
gandaria yang matang berwarna kuning, memiliki rasa kecut-manis dan dapat
dimakan langsung. Daunnya digunakan sebagai lalap. Batang gandaria dapat
digunakan sebagai papan. Gandaria adalah flora identitas Jawa Barat.
Deskripsi
Buah gandaria menyerupai mangga bulat yang kecil. Pohonnya
sedang, namun tinggi. Tingginya dapat
mencapai 25 m. Tajuknya rapat. Dahannya berbentuk lebar memanjang, dengan ujung
yang tumpul. Perbungaannya malai, bunganya menyerupai bunga mangga yang
berwarna kuning, dan muncul di ketiak daun. Berbunga pada bulan
September-Desember. Buahnya bulat, seperti kelereng. Tipenya seperti buah batu,
mengeluarkan cairan kental dan bau khas seperti terpentin. Sewaktu masih muda,
warnanya hijau, dan kalau sudah matang, berwarna kuning oranye. Bijinya
berwarna ungu. Daunnya tunggal,
berbentuk bundar telur-lonjong sampai bentuk lanset atau jorong. Waktu muda
berwarna putih, kemudian berangsur ungu tua, lalu menjadi hijau tua.
Persebaran dan habitat
Buah ini berasal di daerah-daerah Asia Tenggara,
sekarang menyebar ke pulau-pulau di sebelah timurnya dan juga sampai ke India.
Di Indonesia, gandaria memiliki persebaran yang sempit. Yakni di Pulau
Sumatera, sebagian Jawa, Maluku, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara, dan Papua. Ia tumbuh di hutan-hutan, atau ditanam di desa-desa
sebagai tanaman buah. Ia tumbuh dengan baik dari ketinggian 5-800 mdpl.
Pembudidayaan tumbuhan ini sudah dilakukan di Sumatera.
Sementara itu, ia tumbuh baik di Ambon dengan
pemukiman baik dataran rendah ataupun dataran tinggi. Di hutan dataran rendah,
dapat hidup di bawah 300 mdpl, tetapi dalam pembudidayaan telah berhasil
ditanam pada ketinggian sekitar 850 m dpl.
Pemanfaatan
Daunnya yang masih muda digunakan untuk sayuran,
khususnya untuk lalap. Buahnya berair, rasanya manis-masam. Tumbuhan ini bisa langsung dimakan seusai
dipetik dari pohonnya. Sedangkan sewaktu masih muda, buahnya bisa dibuat
sambal, rujak, dimakan langsung atau untuk lalap. Kayunya dapat digunakan untuk
membuat sarung keris dan daunnya digunakan untuk obat.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar